Senin, 06 Juli 2009

Kisah Gajah Mada 10



KI PATIH DAN KI SEPUH


Setelah pertemuan Pahom Narendra & seusai Sang Ibunda Prabu meminta pendapat dari orang kepercayaannya, tentunya permintaan Raja Hayam Wuruk tidak serta merta dapat mudah diputuskan. Mengingat adanya Sumpah Amukti Palapa yang telah digelorakan & masih berjalan oleh Mahapatih Gajah Mada, serta melihat kepentingan Kerajaan Majapahit yang lebih besar. Maka pertemuan Pahom Narendra kedua akan kembali digelar, namun setelah informasi dari kepercayaan Tribhuannatunggadewi telah lengkap. Dengan demikian keputusan yang akan dikeluarkan diharapkan akan seakurat mungkin demi kejayaan Majapahit.

Sementara di sisi Sang Mahapatih yang saat itu sedang kelelahan setelah penaklukannya ke utara Champa maupun Tumasek, membuat dirinya sedang sulit berpikir. Ditambah keinginan "Palapa"nya yang akan direbut oleh pihak Istana Trowulan melalui Sang Prabunya sendiri, tentu menambah beban pikirannya yang seharusnya ia dapat rebahan dengan tenang di tempat peraduannya.

Di tempat lain lagi, sebagian pejabat Majapahit dari tingkat Patih hingga Tumenggung mulai mempertanyakan kebijakan-kebijakan Gajah Mada yang dinilai mengedepankan egonya daripada kepentingan kerajaan. Mereka mulai mempertanyakan Amukti Palapa yang dibentangkan oleh Sang Mahapatih, mereka melihat bahwa sesungguhnya Sumpah tersebut adalah untuk memajukan nama besar Gajah Madanya sendiri daripada Sang Prabu.

"Mempersatukan Nusantara ? ... Puih !" tegas Ki Patih dengan meludah karena bencinya pada Gajah Mada. "Ia sebenarnya hanya ingin namanya menjadi besar, sementara Majapahit adalah alatnya" lanjutnya.

"Hati-hati kamu bicara !" ingat Ki Sepuh.

"Hah ?! Kenapa demikian ? Bukankah telah jelas di hadapan mata kita bahwa bahkan nama Sang Prabu jarang ia bawa ? Ia selalu dan selalu membawa nama Majapahitnya ?!" tanya Ki Patih.

Ki Sepuh tersenyum dengan memegang jenggot putihnya seraya membelai-belai.

"Saya dari dulu mencurigainya, pada akhirnya ia pasti akan merebut singgasana Sang Prabu ! Lihat saja, ia hanya membawa nama Baginda Raja Junjungan kita semua di tempat-tempat yang tak jauh dari sini. Sementara hingga ke utara ia hanya membawa namanya sendiri & Majapahit ?! Bukankah itu berarti ia sedang mempersiapkan dirinya sebagai raja ?" tanya Ki Patih dengan kesalnya.

"Kita janganlah tergesa-gesa menilai seperti itu. Tak baik memberi prasangka buruk, apalagi kepada seorang Mahapatih yang telah membawa kejayaan bagi Majapahit" Ki Sepuh mengingatkan.

Menengoklah Ki Patih kepada Ki Sepuh lalu menatap tajam matanya melihat perkataan temannya itu.

"Bagaimana kau ini Ki ? Seharusnya engkau mendukungku, bukan malah menahan diriku. Ah, jadi tak jelas rupanya ?!" tegasnya dengan kesal kepada Ki Sepuh. Lalu ia bersedekap sembari duduk di atas batu saling berhadap-hadapan.

Bersamaan Ki Patih duduk, Ki Sepuh berdiri seraya berkata : "Inilah bedanya saya dan kamu dari dulu".

"Beda ? Apanya yang berbeda Ki Sepuh ?!" tanyanya masih dengan nada kesal.

Dengan jari tangan kanannya menunjuk kepalanya sendiri & jari tangan kirinya menunjuk dengkul kakinya, Ki Sepuh berkata : "Bila aku masih suka menggunakkan kepala, ternyata engkau masih senang menggunakkan dengkul !". "Bagaimana engkau bisa menang bila emosimu masih kau kedepankan daripada isi kepala ?!" lanjutnya.

Terdiam Ki Patih mendengarnya. Meski wajahnya memerah karena merasa dihina, namun dirinya sendiri membenarkan ucapan tersebut. Sehingga ia lebih memilih menundukkan kepalanya & melepas tangannya yang sedang bersedekap itu.

"Lalu bagaimana selanjutnya Ki ?" tanyanya.

"Tunggu saat yang tepat dariku. Yang terpenting para prajurit pasukanmu harus terus menerus berlatih agar mumpuni dalam perang nanti. Esok aku akan menemui Ki Tumenggung untuk membahas lebih lanjut !" tegas Ki Sepuh, lalu ia berlalu pergi meninggalkan Ki Patih yang masih duduk di atas batu.

Hati Ki Patih masih panas tak sabar untuk segera menjungkalkan Sang Mahapatih. Mengingat telah sekian lama ia & keluarganya harus hidup seadanya demi yang kata Gajah Mada adalah untuk Majapahit itu. "Demi Majapahit, hah ?! Demi dirimu yang pasti hai Gajah Mada kurang ajar engkau !" ucapnya dalam hati. "Demi namamu yang kau besarkan sendiri ini, maka menderitalah segenap pejabat Majapahit ! Berani-beraninya engkau memberi hukuman kepada kami para pejabat bila melakukan kesalahan dengan hukuman yang sama dengan para kawula rakyat ! Sudah gilakah kau Mada ?!" kesal bukan kepalang Sang Patih melihat yang baginya penderitaan berkepanjangan ini, meski tetap ia berkata dalam hati.

Lalu berdirilah Ki Patih dari batu yang ia duduki seraya berkata : "Aku dan sekalian pejabat Majapahit adalah yang harus disembah oleh segenap kawula rakyat ! Bukan kami yang harus sibuk pontang-panting untuk mensejahterahkan mereka, namun merekalah yang harus membahagiakan kami. Kurang ajar kau Mada !! Akan kujungkalkan dirimu wahai Mada !!!" keras & lantang perkataannya, meski tetap dalam hati.

Pergilah kemudian Sang Patih dengan tangan mengepal, berlalu menjauh menuju wisma kepatihannya.



( RP )

Jumat, 03 Juli 2009

Kisah Gajah Mada 9



KESEMPURNAAN AMUKTI PALAPA
HARUS DIPEGANG PRABU HAYAM WURUK


Setelah pertemuan Pahom Narendra usai, Ibunda Prabu Hayam Wuruk kemudian memanggil orang kepercayaannya untuk menghadapnya di istana. Maka dengan tergopoh-gopoh orang tersebut segera menuju istana, meski saat itu hujan mulai turun membasahi tanah.

"Hamba haturkan sembah kepada Yang Mulia Ibunda Prabu" sesaat ia tiba di balai istana & menghadap Tribhuannatunggadewi.

"Saya mengundangmu ingin ada masukan yang sebaik-baiknya demi kejayaan kerajaan kita" ucap Sang Ibunda Prabu tersebut. Kemudian kata-katanya dilanjutkan : "Seperti kamu tahu & yang awalnya aku tahu, lalu kini seluruh anggota Pahom Narendra telah mengetahuinya maka kita harus memikirkan matang-matang demi menjaga kejayaan Majapahit".

Hening sesaat saat sang Sang Ibunda Prabu diam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkannya.

"Tak hanya penduduk Dharmasraya hingga Champa saja yang mengelu-elukan Gajah Mada, namun bahkan para pejabat kerajaan setempatpun berbuat sama. Saat saya betandang ke Tumasek, mereka lebih mengenal nama Sang Mahapatih daripada Baginda Prabu sendiri" lapor orang kepercayaan itu memotong keheningan suasana.

"Saya tidaklah heran, paman" jawab Tribhuannatunggadewi. "Justru itu paman kupanggil untuk memberi masukan yang terbaik bagi Majapahit ?" lanjutnya dengan kemudian berdiri untuk berjalan menuju jendela.

Setibanya di jendela, Tribhuannatunggadewi melihat rembulan yang nampak setengah terlihat dan berkata : "Selama ini paman adalah orang kepercayaanku yang menjaga kewibawaan istana & selama ini pula kesetiaan paman tak pernah kupertanyakan".

Tersentak, kemudian buru-buru orang itu merapatkan kedua telapak tangannya hingga diangkat ke atas dengan berkata : "Ampun beribu-ribu ampun bila ada kesalahan yang tak hamba ketahui. Segalanya demi kejayaan Majapahit & keluarga Baginda Prabu & tak ada terbesit sekalipun untuk mendua terhadapnya".

Ibunda Prabu lalu mengalihkan pandangannya ke orang tersebut, kemudian dengan senyuman halusnya berucap : "Saya tak sekalipun meragukannya paman. Maksud saya tadi adalah kiranya untuk selanjutnya pun demikian sikap paman. Bagaimanakah masukanmu akan keadaan ini paman ? Silahkan diutarakan".

"Terima kasih atas kepercayaan Ibunda Prabu terhadap saya. Baiklah saya mulai untuk mempercepat penyelesaian keadaan saat ini : Bila permintaan Baginda Prabu dikabulkan maka itu berarti terlanggarnya Sumpah Amukti Palapa Sang Mahapatih, namun bila permintaan tersebut ditolak maka itu berarti kekecewaan akan muncul dari hati Sang Prabu".

"Menurut paman, apakah Mahapatih Gajah Mada akan menyempurnakan Sumpah Amukti Palapanya ?" tanya Tribhuannatunggadewi.

"Beliau tentunya akan menyelesaikan apa yang telah diucapkan di hadapan khayalak ramai di depan Bale Manguntur saat itu" jawabnya.

"Lalu bila demikian, bagaimana paman dapat menjelaskan padaku. Gajah Mada membawa pasukan sekian banyak & sekian lama hingga Champa di utara, Dharmasraya di barat hingga Onin di timur. Namun di depan perkarangan kita sendiri ia lewati ? Bagaimana mungkin Sang Mahapatih selalu melewati Bumi Kasundan ?" tanya Sang Ibunda Prabu kembali, dengan berjalan kembali menuju singgasananya.

"Itulah maksud beliau, Ibunda Prabu junjunganku" ucapnya.

"Berarti ia takkan dapat menyempurnakan Sumpahnya sendiri ? Karena Bumi Kasundan takkan ia taklukkan ?" ucap Tribhuannatunggadewi dengan raut wajah yang bingung.

"Maaf beribu-ribu maaf kuhaturkan. Namun penaklukkan terakhir yang akan dilakukan beliau adalah dengan meminang Putri dari Bumi Kasundan tersebut. Itulah maksudnya saat berbicara PALAPA" jawabnya dengan menundukkan kepala menghadap lantai. Lalu lanjutnya : "Baik Yang Mulia Ibunda Prabu maupun hamba telah mengetahui sejak lama siapakah Gajah Mada & riwayatnya".

Setelah kembali duduk kemudian Tribhuannatunggadewi bertanya kembali : "Tapi bukankah itu semua hanyalah prasangka saya & paman belaka ? Mungkinkah ia masih akan menemui kekasih lamanya ?".

"Para teliksandhi saya melaporkan bahwa teliksandhi Mahapatih telah membuka hubungan kepada Kedaton Sang Putri Bumi Kasundan tiap beliau sehabis melewati daerah itu. Mohon maaf Yang Mulia Ibunda Prabu jika saya terlambat menyampaikan laporan ini, karena saya harus memastikan terlebih dahulu kepastian berita tersebut" ucapnya.

"Lalu baiknya selanjutnya bagaimana paman ?" tanya Sang Ibunda Prabu.

"Seperti kita ketahui Yang Mulia Ibunda Prabu, hingga kini di sebagian besar wilayah Majapahit Nusantara nama Mahapatih lebih dikenal dari Baginda Prabu sendiri. Bila kemudian beliau berhasil & sejarah akan mencatatnya demikian, maka perlu kita mawas diri terhadap hal tersebut. Mengingat beliau bukanlah asli bumiputera jawadwipa, meski sebagian darahnya mengalir demikian & lahir di bumi ini. Bukankah sebaiknya Sumpah Amukti Palapa disempurnakan oleh Baginda Prabu dengan meminangnya ?" ucapnya dengan panjang lebar.

"Dengan menerima permintaan Sang Prabu ? Menjadi permaisurinya ? Bukankah itu berarti Raja Hayam Wuruk yang melanggar Amukti Palapa ? Karena berarti justru mensejajarkan & bukannya malah menaklukannya. Jangan lupa bahwa anak pewaris tahta nanti berarti akan keluar dari rahim mereka ?" tanya Tribhuannatunggadewi dengan hela napas yang agak panjang.

"Mohon Ampun Ibunda Prabu junjunganku, hamba tak bermaksud seperti itu. Namun dengan Sang Prabu meminangnya maka Sumpah Amukti Palapa akan sempurna di tangan beliau tanpa perlu harus mengawininya" jawabnya.

"Pikiran saya kok malah jadi njlimet untuk menangkap maksud paman ?" keluh Tribhuannatunggadewi.

"Dengan Pahom Narendra menyetujui permintaan Sang Prabu maka Sumpah Amukti Palapa akan menjadi sempurna di tangan kita tanpa perlu Baginda mengawininya & segala kebesaran Sang Mahapatih akan redam dengan sendirinya. Dengan demikian segalanya tetap dapat terjaga & Majapahit tetap dapat berjalan" lanjutnya dengan tegas.

"Saya kini bertambah pusing mendengar nasehat arahanmu paman. Sebaiknya paman lanjutkan pekerjaan yang telah paman siapkan untuk saya dapat melihat maksudnya" ujar Sang Ibunda Prabu dengan memegang kepalanya.

"Baiklah Yang Mulia Ibunda Prabu junjunganku. Dengan demikian saya mohon diri untuk melanjutkan kejayaan Majapahit" ucapnya, lalu keluarlah ia dari istana tersebut.

Sementara Sang Ibunda Prabu Tribhuannatunggadewi tetap berada di singgasanannya dengan masih memegang kepalanya. Namun bila saja orang kepercayaannya tadi dapat melihat lebih seksama wajah Ibu Suri, tersungging senyuman merekah menyeruak dari rautnya.



( RP )

Kisah Gajah Mada 8



GAJAH MADA TAKKAN MENAKLUKKAN
BUMI KASUNDAN


Di hadapan Pahom Narendra (= yaitu semacam Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari Keluarga Raja Utama ) termasuk di dalamnya adalah Sang Ibunda Prabu, Hayam Wuruk telah menyampaikan keinginannya untuk meminang Putri yang ada di lukisannya Sang Mahapati Mada. Betapa Sang Raja Muda ini begitu bergelora jiwanya akan kecantikan Sang Putri dari Bumi Kasundan tersebut, bahkan sejak pertama kali melihat gambar itu.

Dan tentulah hal ini menjadi pembahasan yang serius bagi Pahom Narendra, mengingat Amukti Palapa yang digelorakan Sang Mahapatih telah & bahkan masih berjalan.

"Saya dapat memahami keadaanmu anakku" ucap Sri Kertawardhana yang adalah Ayahanda Raja.

"Kalau Bibi tak semudah itu untuk memahami permintaanmu. Mengingat Sumpah Amukti Palapa masih berjalan dibawah Gajah Mada" ujar Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa sebagai adik Ibunda Raja.

Sementara Pamannya Wijayarajasa tengah memegang dagunya sembari berpikir keras.

"Engkau adalah seorang Prabu, seorang Raja yang segala sesuatunya harus dipikir masak-masak. Tidak bisa hanya karena perasaan, lalu kamu mengambil keputusan begitu cepat" lanjut Dyah Wiyat Sang Bibinya berkata.

"Mohon maaf bila saya potong. Yang diajukan oleh Prabu Hayam Wuruk anak saya hanyalah sekedar mencari pendamping Permaisuri. Bukankah hal yang wajar bila beliau menghaturkan keinginannya ?" tanya Sang Ayahanda Raja Sri Kertawardhana.

"Permaisuri ?!" agak terperanjat Wijayarajasa mendengarnya.

"Apakah di Bumi Majapahit ini kita telah kehabisan wanita sehingga harus mencarinya di tempat lain ?" lanjut Dyah Wiyat.

"Terlebih bila tempat yang dimaksud Sang Prabu adalah wilayah yang belum kita taklukan itu" tambah Sang Suami Dyah Wiyat Wijayarajasa, terlihat berusaha mendukung istrinya. "Dan bahkan dari tempat tersebut akan diangkat sebagai seorang Permaisuri ? Banggalah mereka bila hal itu terjadi !" sambungnya dengan nada tegas.

Sementara itu kedua adik Prabu Hayam Wuruk yaitu Rajasaduhiteswari & Rajasaduhitendudewi saling bertatap-pandang sebelum ikut angkat bicara untuk berusaha membela kakaknya.

Rajasaduhiteswari sebagai anak perempuan tertua mulai terlebih dahulu, "Ampun beribu-ribu ampun Ayahanda, Ibunda, Paman dan Bibi yang kami junjung & sayangi. Namun bukankah baik bila kita sama-sama berusaha memahami rasa hati Kangmas Prabu Hayam Wuruk agar beliau dapat segera mengakhiri masa lajangnya ?".

"Agar dengan demikian Kangmas dapat memiliki pasangan untuk menyempurnakan keprabuannya ?" sambung Rajasaduhitendudewi bermaksud mendukung kakak perempuannya.

Tatap mata mereka bertiga memandang ke kedua adik Sang Prabu tersebut, berusaha memahami maksud pembelaan yang barusan saja diucapkan.

Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hingga Pamannya mulai berkata-kata kembali "Hingga kini saya masih belum bisa menangkap maksud ataupun strategi Sang Mahapatih Gajah Mada. Ia memimpin segenap kekuatan hingga Tumasek & Champa, ke Onin sebelah Timur & Dharmasraya di Barat. Namun mengapa ia tidak memulainya dari perkarangan sebelah kita sendiri yaitu Bumi Kasundan ? Sehingga kini menjadi pembahasan bersama kita ini".

"Mungkin akan ia taklukkan di akhir Sumpahnya ? Mengingat Kerajaan tersebut memiliki kekuatan cukup besar juga. Ingatkah kita bahwa kekuasaan mereka hingga dikenal sebagai Sunda Besar & Sunda Kecil ?" berkatalah Sri Kertawardhana berusaha mencari pemecahan strategi Gajah Mada, sekaligus berharap dapat menjawab teka-teki yang diajukan adik iparnya tersebut.

"Tidak saat ini Kangmas. Saat ini mereka hanyalah berkekuatan di sepanjang barat Jawadwipa saja, tak lebih" jawab Dyah Wiyat kepada kakak iparnya.

Mereka kembali terdiam untuk bersama-sama mencari jalan keluar terhadap keinginan Sang Prabu yang telah diajukan tersebut.

Namun keheningan pecah saat kemudian Sang Ibunda Tribhuannatunggadewi yang sejak awal tak mengeluarkan sepatah katapun, kini mulai berucap "Gajah Mada takkan menaklukkan Bumi Kasundan !".

Terperanjat seisi ruangan mendengar jawaban sekaligus penegasan Sang Ibunda Prabu tersebut.

"Mengapa demikian kesimpulanmu istriku ?" tanya Sri Kertawardhana.

"Bagaimana mungkin ?" tanya Wijayarasaja adik iparnya.

Sementara baik Dyah Wiyat maupun kedua adik Prabu diam dengan memandang seksama Sang Ibunda Prabu tersebut.

Tribhuannatunggadewi lalu berdiri & berjalan ke tengah ruangan sembari meneruskan perkataannya "Dahulu kala ada seorang prajurit Istana Surawisesa bernama Jaya Saksheena dikenal sebagai Ramada. Prajurit tersebut lihai dalam melukis hingga kemampuannya tersebut ia tuangkan kembali saat bertemu Putrinya tersebut. Namun perjalanan & hubungan mereka diketahui oleh Sang Prabu Lingga Buana yang kemudian menegurnya keras karena bagai langit dan bumi. Prajurit itu tertusuk hatinya sangat dalam atas ungkapan Ayahanda Sang Putri, kemudian pergilah ia ke arah timur untuk berbakti pada Kerajaan lain".

Diam sesaat .................

Lalu adik iparnya bertanya "Mohon maaf Mbakyu. Bolehkah saya mengetahui benang merah dengan apa yang sedang kita pikirkan saat ini ?".

Ibunda Prabu kemudian membalikkan badan dan meneruskan ceritanya "Ramada adalah yang kini kita kenal sebagai GAJAH MADA & Kerajaan lain yang kumaksud adalah MAJAPAHIT di saat Prabu Jayanegara bertahta !"

Bagai disamber petir yang menggelegar di kala hujan lebat, seisi ruangan terperanjat kaget mendengarnya. Tak tertinggal Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri yang saat itu masih di dalam ruangan.

Namun Tribhuannatunggadewi melanjutkan perkataannya "Hayam Wuruk anakku, engkau pinanglah Sang Putri tersebut, nama lengkapnya adalah Dyah Pitaloka Citraresmi. Engkau akan menyempurnakan Sumpah Amukti Palapa Majapahit dari Gajah Mada !!!"



( RP )

Kisah Gajah Mada 7



LUKISAN YANG MEMBUAI SANG PRABU


Keletihan Pu Mada belumlah usai setelah pergi menunaikan tugas Amukti Palapanya, kini ditambah degup jantung yang cepat & kepala pusing. Bukan karena semalam Sang Prabu Hayam Wuruk datang ke Wisma Kemahapatihannya untuk menjenguk dirinya setibanya di Trowulan, namun karena kehadirannya di kamar pribadinya yang menohok hatinya yang membikin dirinya bertambah letih berpikir.

Teringat kehadiran Sang Prabu Rajasanagara semalam & percakapan dengan dirinya.

"Lukisan di dinding paman itu bagus sekali, siapakah gerangan wanita yang beruntung memiliki keindahan bak seorang dewi tersebut ?" pujian sekaligus pertanyaan dilontarkan Sang Prabu kepada Gajah Mada.

"Hamba tuanku Gusti Prabu. Itu adalah gambar seorang Putri dari Istana Surawisesa di Bumi Kasundan" jawabnya.

"Sungguh tak pernah kulihat wanita yang dapat memancarkan cahaya keindahan yang begitu mempesonaku sepanjang masa selain seorang putri yang ada di gambar ini" begitu puji Sang Raja dengan berjalan mendekati lukisan tersebut. Lalu tanyalah lagi "Darimanakah Mahapatih mendapatkan lukisan ini ? Apakah saat berjalan pulang melewati Bumi Kasundan ?".

"Ampun beribu-ribu ampun Tuanku Prabu. Itu lukisanku dahulu saat masih di Istana Surawisesa" jawab Gajah Mada dengan menundukkan kepalanya.

"Hah ?! Yang saya tahu dahulu paman adalah seorang Prajurit di Istana Surawisesa itu. Apakah atas permintaan Prabu Lingga Buana saat itu untuk paman belajar melukis Putrinya ?" tanya Hayam Wuruk.

"Sekali lagi beribu-ribu kuhaturkan maaf pada Gusti Prabu junjunganku. Sebenarnya sebelum menjadi seorang prajurit, hamba memang telah terbiasa melukis. Karena itulah pekerjaan hamba untuk dapat hidup pada masa itu" kata Pu Mada yang juga dikenal dengan sebutan Ki Mada itu.

"Hmmm ..... Lalu, bagaimakah paman melukisnya ? Atas permintaan Sang Prabukah saat itu ?" kembali Sang Prabu bertanya dengan tangan kanannya memegang-megang dagunya menikmati lukisan yang indah tersebut.

"Tidak Gusti Prabu" jawaban yang diucapkannya terdengar dengan nada berat.

"Lalu ? Bagaimana paman melukisnya padahal saat itu hanyalah seorang prajurit ?" tanyanya ingin tahu bagaimana dapat mengambil gambar sang Putri tersebut.

Gajah Mada tak dapat menjawabnya & memilih untuk diam seribu bahasa, meski tetap dengan sikap menundukkan badan untuk menghormati Sang Prabu Hayam Wuruk.

"Bagaimana paman ?" kembali bertanya Hayam Wuruk.

Namun diam dan keheningan sajalah yang merebak di sekitar ruangan kamarnya, meski hatinya bergolak sembari berkata-kata "Mimpi apakah aku ini hingga gambar yang kusembunyikan di dalam kamarku ini malah diketahui Sang Prabu sendiri ? Duh demi Sang Dewata Agung" bingung Sang Mahapatih untuk menjawabnya.

Sesaat ia sadar ternyata Hayam Wuruk telah menatap wajahnya dengan penuh kebingungan. Namun tak berapa lama kemudian ia berujar "Baiklah kalau demikian paman, bolehkah saya membawa gambar itu untuk kutunjukkan ke Pahom Narendra (= yaitu semacam Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari Keluarga Raja Utama yang dituakan ) & Ibunda ?" pinta Sang Raja.

"Gusti Prabu adalah sesembahan & junjungan hamba. Adakah yang tak kuberikan untuk Rajaku ?" jawabnya dengan nada lebih berat dari sebelumnya.

Lalu Hayam Wuruk segera memerintahkan pengawalnya untuk mengambil lukisan tersebut & membawanya serta.

"Sungguh saya sangat berterima kasih pada paman yang telah menunjukkan gambar untuk seorang permaisuri bagiku. Budi baik paman sekali lagi takkan pernah kulupakan selamanya" tegas Sang Raja.

Keluarlah Sang Prabu setelah minta diri dari kamar Sang Mahapatih, sekaligus dari Wisma Kemahapatihan Ki Mada.

Namun kejadian tersebut membuat Gajah Mada malah tak dapat beristirahat, sebaliknya duduk bersila hingga matahari pagi muncul dari balik pegunungan.

"Apa yang akan terjadi ? Akankah Sang Prabu akan mengambil apa yang pernah menjadi impianku ? Mengapa beliau tak satupun bertanya tentang hubungan antara saya dengan Sang Putri Bumi Kasundan tersebut ? Padahal dari tatapan matanya seharusnya beliau tahu bahwa saya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun mengapa beliau tak mempertanyakannya ? Sebaliknya malah mengambil tindakan yang cepat, bahkan terlalu cepat dibanding apa sedang saya pikirkan saat itu" pikir Gajah Mada.



( RP )

Kisah Gajah Mada 6



KI SEPUH :
MATIKAN YANG MENGINGKARI AMUKTI PALAPA MAJAPAHIT


Di suatu malam di salah satu Wisma kepatihan, penjagaan dilakukan lebih ketat dari hari-hari biasanya. Bukan karena akan ada bahaya mengancam, namun karena ada sebuah pertemuan yang digagas oleh Ki Patih bersama Ki Sepuh.

"Bagaimana, sudah berkumpul semua ?" tanya Ki Patih.

"Lengkap Tuanku Patih" jawab salah seorang Patih Muda.

"Baik, segera kita mulai saja" ujar Ki Patih.

Semua yang hadir bersila dengan tegap untuk mendengarkannya, meski ada makanan & minuman yang telah tersaji di hadapan mereka masing-masing.

"Kita semua telah mengetahui bagaimana sikap Sang Mahapatih tadi siang, betapa arogannya dia. Padahal semestinya ia tahu bahwa tanpa dukungan kita, ia bukanlah apa-apa. Saat Gajah Mada masih sekedar Prajurit Bhayangkara, aku telah duduk sebagai penguasa wilayah. Saat dia masih belajar menjadi prajurit pun, aku sudah dekat dengan keluarga Raja saat itu. Semestinya dan seharusnya ia tahu tata krama ......." ucap Ki Patih yang kemudian terpotong dengan Ki Sepuh.

"Ki Patih, mblunder bener kata-kata pembukamu ?! Kita disini bukan untuk mendengarkan curahan uneg-unegmu, tapi memikirkan apa yang seharusnya dilakukan demi kejayaan Majapahit" potong Ki Sepuh.

"Baik ... baik ... kita langsung ke pokok pembahasaannya. Namun sembari kita membicarakannya, silahkan dinikmati hidangan yang telah tersaji supaya enak" dengan sopan Ki Patih mempersilahkan.

Namun tiba-tiba Ki Sepuh berteriak : "HENTIKAN ! Kita ini mau makan-makan apa rapat ? Kok supaya enak ?! KI PATIH, MULAI SAJALAH !"

Ruangan menjadi terdiam sejenak, begitu heningnya hingga suara jangkrik bersahutan yang sedang berpacaran terdengar seakan-akan keras di telinga.

Lalu Ki Patih memulainya : "Rekan-rekan sekalian, AMUKTI PALAPA telah berjalan 22 tahun lamanya. Telah selama itu pula kita semua harus ikut prihatin menderita demi siapa ? Bukankah hanya demi seorang Gajah Mada ? Sementara kita yang telah sekian lama dapat menikmati kemewahan istana menjadi harus mengikuti kesederhanaan ??? Dia boleh-boleh saja berbuat seperti ini, lha wong bujangan dia. Sementara kita ? Bukankah telah memiliki keluarga yang tidak saja harus dihidupi, namun juga yang gaya hidup kita sebagai orang istana harus & mutlak dipertahankan ! Masyarakat tak lagi segan terhadap kita, sebaliknya terus-menerus mengkumandangkan Gajah Mada !! Ini tak boleh DIBIARKAN !!!"

"Benaaaaaar !" teriak semua yang hadir meneriakkan kesepakatan.

Lalu Ki Patih melirik Ki Sepuh yang berdiri disamping dengan memberi senyum kebanggaan sebagai tanda keberhasilan membuka rapat.

"Hmmmm, masih seputar uneg-unegmu toh ya ?" kata Ki Sepuh dengan balasan senyuman sinis.

Ki Sepuh kemudian maju dan mengambil alih pembicaraan : "Rekan-rekan sekalian kita tetap harus memajukan AMUKTI PALAPA demi Majapahit daripada Sang Mahapatih itu sendiri".

"Benaaaaar !" teriak semua yang hadir.

"Mahapatih bisa saja gagal di tengah jalan akan Sumpahnya sendiri & oleh karena itulah kita musti menjaga Amukti Palapa tetap pada Majapahit".

"Setujuuuu !" teriak semua yang hadir kembali.

Lalu keheningan kembali menyeruak tatkala Ki Sepuh tidak melanjutkan ucapannya. Namun tiba-tiba salah seorang yang hadir bertanya : "Tuanku, kalau boleh kami bertanya. Lalu hubungannya dengan kata-kata pembuka Ki Patih tadi apa ya ?"

"Saya juga tidak mengerti apa yang diucapkan Ki Patih tadi. Makanya kukatakan sebagai uneg-uneg belaka" jawab Ki Sepuh.

Segera Ki Patih tanggap & menjawab : "Begini rekan-rekan sekalian, maksud saya adalah demi AMUKTI PALAPA yang adalah kejayaan Majapahit maka sudah semestinya kita para Pepatih & Surtumenggung dapat kembali menikmati kemewahan sebagai mana adanya. Bukan begitu Ki Sepuh ?"

"Hmmmm, ternyata kamu semakin memperjelas semuanya ya ?" jawab Ki Sepuh.

"Terima kasih Ki Sepuh" ujar Ki Patih.

"Maksud saya, memperjelas bahwa kamu masih bodoh saja ! Amukti Palapa bukan Amukti Vivaha !" tegas Ki Sepuh.

Diam dan memerah muka Sang Ki Patih.

"DENGARKANLAH HAI REKAN-REKAN SEKALIAN SEMUA !" seru Ki Sepuh. "Amukti Palapa adalah Senjata sekaligus Kekuatan Kebesaran Kerajaan Majapahit ! Apa tindakan kalian bila ada yang mengingkarinya ?!" tegas Ki Sepuh.

"BUNUUUUH !" jawab serentak yang hadir.

"BENAR ! SIAPAPUN YANG MENGINGKARINYA MAKA TAK BOLEH ADA BELAS KASIHAN. HARUS KITA APAKAN ?!" tanya Ki Sepuh.

"MATIKAAAN !" kembali semua yang hadir serentak menjawab.

"SIAPAPUN ?!" tanya Ki Sepuh.

"SIAPAPUUUN !" jawab mereka semua.

"TERMASUK BILA YANG AKAN INGKAR ADALAH SANG MAHAPATIH ITU SENDIRI ?!" tanya Ki Sepuh.

"IYAAA" jawab Ki Patih, namun hanya dia sendiri yang menjawabnya. Sementara yang lainnya bingung menjawabnya.

Tiba-tiba Sang Tumenggung berdiri dengan senyum sindiran : "Benarkah yang engkau ucapkan tadi Ki Patih ? Sementara tiap bertemu muka dengan Sang Mahapatih, kuperhatikan engkau selalu menunduk tak berani menatapnya ?!"

"Hai Tumenggung, hati-hati bila engkau berbicara !!!" jawab Ki Patih.

"Biasanya yang menundukkan muka begitu dalam, sesungguhnya sedang menutupi bulu-bulu di hatinya. Huh ?!" ungkap Tumenggung.

"CUKUP !!!" bentak Ki Sepuh.

"Saya hanya mengingatkan kepada kalian untuk tetap setia kepada AMUKTI PALAPA MAJAPAHIT ! Siapapun kecuali Sang Prabu & Keluarga Baginda, bila ada yang mengingkarinya maka habiskan riwayatnya. JELAS ?!" tegas Ki Sepuh.

"JELAAAS KI SEPUUUH !!!" serentak jawab semua yang hadir sembari berdiri & memegang senjatanya.

Tersenyumlah Sang Ki Sepuh mendengarnya & melihat apa yang terjadi tadi.



( RP )

Kisah Gajah Mada 5



GAJAH MADA :
TANDA JASA BUKAN UNTUK DIRIKU


Setelah 22 tahun Mahapatih Gajah Mada berupaya melebarkan sayap Majapahit untuk mempersatukan Nusantara, dari Timur Onin (= Maluku ) hingga Barat Dharmasraya (= Sumatera Barat ) lalu merangsek ke Utara menembus Tumasek (= Singapura ) & Malaya (=Malaysia ). Maka kemudian ia kembali ke Wisma Kemahapatihan di Trowulan untuk mempersiapkan strategi selanjutnya. Namun saat memasuki gerbang ibukota, hampir semua masyarakat menyambutnya dengan sorak gembira & mengelu-elukannya. Cukup kaget Gajah Mada menerima sambutan tersebut karena tidak disangka-sangka. Segera ia mengarahkan kudanya menghampiri pengawal setianya untuk bertanya.

"Bagaimana mereka tahu saya pulang hari ini ?" tanya Gajah Mada

"Tuanku Mahapatih, nampaknya acara penyambutan ini telah dipersiapkan oleh beberapa Patih. Mereka ada di depan Wisma Tuanku sedang menunggu" jawab Ki Kurowi

"Apa para Patih itu tidak ada kerjaan lain selain melakukan pesta-pesta tidak penting ini, hah ?!" gerutu Sang Mahapatih dengan memacu kudanya agar kembali ke barisan depan

Saat barisan pasukan yang dipimpin Gajah Mada mendekat Wisma Kemahapatihan, para Patih & Tumenggung menyambutnya dengan menundukkan kepala. "Selamat datang kembali ke bumi tercinta Mahapatih yang terhormat. Betapa kami semua kagum akan segala usaha Yang Mulia demi kejayaan Majapahit. Kami tidak saja menghormati Tuanku Mahapatih, namun kami bersujud sembah".

Gajah Mada turun dari kuda lalu berjalan memasuki Wisma tanpa menggubris para Patih & Tumenggung yang sedang berada di Teras depan. Namun mereka kemudian mengikutinya hingga masuk ke dalam ruangan. Mendengar langkah ramai mengikuti dirinya ke dalam, tiba-tiba Sang Mahapatih membalikkan badan & menatap tajam satu per satu pejabat tersebut.

"Sungguh saya kecewa dengan kalian, seharusnya perayaan ini untuk Sang Prabu. Karena segala apa yang kulakukan adalah untuk kebesaran Majapahit & bukan untuk diri saya sendiri. Namun apa yang telah kalian lakukan justru akan terlihat seakan-akan saya melakukannya demi kejayaan nama saya !" ucap Gajah Mada dengan nada kesal.

"Sesungguhnya apa maksud kalian menyelenggarakan ini semua ?!" tanya Sang Mahapatih.

Salah satu Patih yang mewakili rekan-rekannya segera menjawab : "Ampun beribu-ribu ampun Tuanku Mahapatih, kami sebenarnya hanya ingin mengajukan kepada Prabu untuk Yang Mulia Tuanku diberi Tanda Jasa sebagai kebesaran perjuangan Mahapatih kepada Majapahit."

"Yg kulakukan hanyalah menjalankan Kewajibanku sbg Mahapatih & mengerjakan Tugasku belaka. Pantaskah aku disebut ber-Jasa ? Tentu TIDAK ! Kecuali kalian para Patih & Tumenggung yg mau cari muka di hadapan Sang Prabu !! Silahkan, tapi jgn bawa2 saya !!!" bentak Gajah Mada

Lalu Sang Mahapatih melanjutkannya

"Tugas adalah kewajiban yang harus kita emban, bila berhasil berarti BAGUS karena memang itu harus tuntas. Apakah itu berarti harus mendapat Tanda JASA ?! Apa yang kulakukan adalah sama dengan Ki Lurah yang tiap hari bertugas memimpin ronda jaga demi keamanan istana. Lalu apabila demikian, apakah tiap hari Negara harus memberi tanda jasa bagi Ki Lurah itu ? Padahal memang itu pekerjaanya ? Berapa kali harus saya katakan bahwa semuanya adalah untuk NEGARA ! Bukan untuk SAYA ?!" bentak sekali lagi Gajah Mada kepada para pejabat tersebut.

"Sekarang pulanglah kalian, saya mau beristirahat untuk segera menghadap Sang Prabu" perintah Sang Mahapatih.

Lalu mereka semua memohon diri berpamitan sekaligus membubarkan diri.

Namun salah seorang Patih yang biasa disebut Ki Patih saat telah melintasi keluar Wisma memberi tanda kepada salah seorang Tumenggung & beberapa Patih Muda.



( RP )

Kisah Gajah Mada 4



GAJAH MADA : AMUKTI PALAPA BUKAN VIVAHA !!!


"LAMUN HUWUS KALAH NUSANTARA INGSUN AMUKTI PALAPA, LAMUN KALAH RING GURUN, RING SERAM, TANJUNGPURA, RING HARU, RING PAHANG, DOMPO, RING BALI, SUNDA, PALEMBANG, TUMASEK, SAMANA INGSUN AMUKTI PALAPA !!!"

(= Jika telah berhasil menundukkan Nusantara aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek telah tunduk, barulah aku akan beristirahat !!! )

"AMUKTI PALAPA, BUKAN AMUKTI VIVAHA ! INILAH SUMPAHKU, KUSERAHKAN SELURUH JIWA RAGAKU DEMI KEJAYAAN MAJAPAHIT !! MAJAPAHIT AKAN MENJADI BANGSA YANG BESAR !!! AMUKTI PALAPA DEMI GULA KELAPA (=Bendera Merah Tua & Putih ) ! AMUKTI PALAPA DEMI CIHNA NAGARA GRINGSING LOBHENG LEWIH LAKA (=Lambang Negara ) ! AMUKTI PALAPA DEMI MAJAPAHIT NUSANTARA !"

Ungkap Gajah Mada yang baru diangkat sebagai Mahapatih Majapahit menggantikan Mahapatih Arya Tadah pada tahun 1334 Masehi, dihadapan kedua Ratunya Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuannatunggadewi Jayawisnuwardhani ( Sri Gitarja ) & Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa ( Dyah Wiyat ) bersama segenap para Patih & Tumenggung yang hadir di Bale Manguntur Trowulan tersebut. Rakyat yang sedari subuh telah hadir di alun-alun terdiam karena kaget akan Sumpah yang baru diungkapkan oleh Mahapatih baru tersebut. Keringat dingin menyapa sekujur tubuh yang hadir, tak ada yang bisa berpikir apalagi berbicara. Bahkan kedua Ratu Majapahit sempat terperanjat kaget mendengar, tak tertinggal sang Arya Tadah yang sebelumnya telah mengetahui cita-cita Gajah Mada kini tersentak saat melihat ternyata menjadi sumpahnya.

"TAKKAN KUNIKMATI KEDUNIAWIAN HINGGA SUMPAHKU TERCAPAI, TAKKAN KUHIRUP KENIKMATAN HINGGA MAJAPAHIT SEBESAR NUSANTARA & TAKKAN KURASAKAN KESUKAANKU HINGGA SEMUANYA USAI !" lanjut Gajah Mada.

Hening seiisi Bale, bahkan keheningan meliputi hingga ke ujung alun-alun.

Tiba-tiba Sang Mahapatih memalingkan wajahnya & menatap tajam keempat Rakrian yang sedang duduk bersila di tepi Bale.

"Wahai kalian berempat para Rakrian yang disana ! BERDIRI & CABUT KERIS KALIAN !! KITA PERANG TANDING SEKARANG DI BAWAH SANA !!! SEKARANG !" bentak Gajah Mada.

Kaget bukan kepalang para Rakrian tersebut, lalu salah satunya berdiri & berlutut bertanya : "Beribu-ribu maaf Tuanku Mahapatih, namun apa yang telah kami perbuat & lakukan sehingga Yang Mulia sangat marah kepada kami berempat ?".

Jawab Gajah Mada : "Jangan kalian pikir saya tidak tahu bahwa gemuknya kalian adalah penderitaan para kawula yang kalian rampas & kemegahan kalian adalah buah pencurian harta Kerajaan Majapahit. Bila kalian dibiarkan hidup maka MAJAPAHIT TIDAK AKAN MENJADI BESAR ! Kalian tetap akan licik melebihi ular ! HAYOOUK, TUNJUKKAN KESATRIAN KALIAN BEREMPAT LAWAN SAYA YANG HANYA SEORANG !".

Melihat hal itu Prabu Putri Dyah Wiyat beranjak berdiri untuk menengahinya, namun segera ditahan oleh tangan Prabu Putri Sri Gitarja yang sedang duduk & menariknya hingga terduduk kembali.

Melihat tak ada tanggapan dari para Ratu & terlanjur merah malu wajah para Rakrian tersebut maka segera mereka mencabut kerisnya masing-masing melompat dan menyerang Gajah Mada. Pertikaian empat lawan satu terjadi di antara Bale dan Alun-alun disaksikan sekian banyak pasang mata.

Tak memakan waktu lama, tewaslah mereka berempat di tangan seorang Gajah Mada.

"WAHAI PARA PATIH, TUMENGGUNG & SELURUH JAJARAN PEJABAT MAUPUN PRAJURIT MAJAPAHIT. MULAI SEKARANG, BARANGSIAPA YANG TIDAK PRIHATIN DEMI KEJAYAAN MAJAPAHIT & KEMAKMURAN PARA KAWULA, MAKA AKU SENDIRI YANG AKAN MENGHUNUSKAN KERIS KE DALAM TUBUH KALIAN. PAHAM ?!" tanya Gajah Mada ke segenap penjuru arah.

"PAHAM ! PAHAM !! PAHAM !!! HIDUP AMUKTI PALAPA, HIDUP MAJAPAHIT, HIDUP GULA KELAPA !" teriakan jawaban bergemuruh di seluruh penjuru.

Namun di salah satu dampar istana duduklah seorang Calon Prabu yang kemudian dikenal sebagai Maharajasa Prabu Hayam Wuruk, sedang berbicara kepada ibunda Ratu Sri Gitarja : "Mungkin saya terlewat, tapi bukankah dari tadi tak ada kata-kata untuk menyanjung diri ibu atau saya ? Mengapa Gajah Mada terus-menerus mengutamakan Negara dan bukan Ratu maupun Rajanya ?".

Arya Tadah yang secara kebetulan mendengarnya segera memohon izin untuk menjawabnya : "Mohon maaf Yang Mulia atas kelancangan saya ini, namun perkenankan untuk menjawab kebingungan Yang Mulia risaukan. Berbeda dengan sebagian Patih yang selalu menyatakan kesetiaan pada Ratu maupun Raja sebagai yang utama, Gajah Mada memiliki perbedaan pandangan".

"Beda pandangan bagaimana ?" tiba-tiba Prabu Putri Dyah Wiyat menjawabnya.

"Bagi Gajah Mada, Ratu maupun Raja dapat silih berganti. Namun Negara tidak & oleh karenannya beliau selalu menempatkan Negara sebagai yang utama. Apalagi saat Majapahit nanti menjadi besar, maka beliau memiliki kewajiban untuk menjaga & mengawalnya." jawab Arya Tadah.

"Begitu ya ? Pantes dulu dia berani-beraninya membenamkan Keris Bhayangkaranya ke kekasihku" ucap Prabu Putri Dyah Wiyat dengan tersenyum sinis.



( RP )